POSISI KORBAN KEJAHATAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK PIDANA HUKUM ADAT BADUY

POSISI KORBAN KEJAHATAN
DALAM PENYELESAIAN KONFLIK PIDANA
HUKUM ADAT BADUY
(SEBUAH KAJIAN RESTORATIVE JUSTICE DI INDONESIA)
Oleh:
Dr. RENA YULIA, S.H., M.H.
(Dewan Pengawas Kantor Hukum Acep Saepudin & Partners Law Firm)
Abstrak
Posisi korban kejahatan dalam hukum pidana adat Baduy memiliki keunikan tersendiri. Dalam proses penyelesaian konflik, korban mendapatkan porsi yang lebih besar dibanding pelaku. Korban cenderung untuk didengarkan keinginannya dan dilibatkan dalam menyelesaikan konflik pidana yang sudah terjadi. Dalam perkembangan hukum mutakhir, ide pelibatan korban ini terdapat dalam konsep restorative justice yang justru muncul dari Barat. Oleh karena itu, tulisan ini ingin mengkaji posisi korban kejahatan dalam penyelesaian konflik pidana hukum adat Baduy sebagai sebuah kajian terhadap konsep restorative justice di Indonesia.
Kata kunci: korban, restorative justice, hukum pidana adat
Pendahuluan
Posisi korban kejahatan dalam penegakan hukum saat ini memang kurang menguntungkan. Ketidakterlibatan korban dalam sistem peradilan pidana membuat penyelesaian konflik pidana adakalanya tidak menghasilkan keadilan yang pro terhadap korban. Atau dengan kata lain, korban tidak memiliki posisi dalam sistem peradilan pidana sehingga tidak terlibat dalam proses penegakan hukum.
Kemunculan konsep restorative justice dianggap membawa harapan dan perhatian terhadap korban kejahatan dalam penyelesaian konflik pidana. Konsep tersebut segera seolah dianggap sesuai dengan budaya Indonesia sehingga dapat diterapkan dalam penegakan hukum pidana saat ini. Meskipun penerapannya masih pada tahap tindak pidana tertentu.
Jika berbicara mengenai hukum yang sesuai dengan budaya Indonesia, maka tidak akan terlepas dari hukum adat di Indonesia. Berbagai suku adat di Indonesia menganut hukum adat yang sudah berlaku sejak ratusan tahun yang lalu hingga sekarang. Keberlakuan hukum adat tersebut sampai saat ini tidak tergeser oleh hukum modern. Masyarakat adat tetap patuh dan menaati berbagai prinsip dan konsep hukum adat dalam menyelesaikan konflik antar mayarakat adat.
Penyelesaian konflik pidana dalam masyarakat adat menjadi menarik untuk dikaji apabila dikaitkan dengan penerapan konsep restorative justice yang akhir-akhir ini dianggap mutakhir dalam proses penegakan hukum pidana. Hal itu terkait dengan anggapan konsep restorative justice dapat memberikan posisi yang tepat pada korban kejahatan dalam menyelesaikan konflik pidana yang terjadi.
Melihat hal demikian, menjadi penting untuk mengkaji prinsip-prinsip yang terkandung dalam penyelesaian konflik hukum pidana adat. Terutama untuk mengkaji posisi korban dalam penyelesaian konflik pidana adat. Hal demikian agar dapat mengetahui posisi korban kejahatan dalam hukum pidana adat.
Hukum pidana adat Baduy menjadi fokus perhatian penulis dalam mengkaji prinsip-prinsip hukum pidana adat. Selain alasan geografis, suku Baduy merupakan suku adat yang masih menggunakan hukum adat dalam menyelesaikan konflik pidana yang terjadi, sejak ratusan tahun yang lalu hingga saat ini.
Oleh karena itu, kajian ini akan fokus pada permasalahan bagaimana posisi korban kejahatan dalam penyelesaian konflik hukum pidana adat Baduy. Ini menjadi penting untuk mengetahui keterlibatan korban dalam proses penyelesaian konflik pidana sehingga terlihat posisi korban dalam hukum pidana adat. Pengkajian terhadap prinsip-prinsip penyelesaian konflik dalam pidana adat Baduy pun terkait dengan upaya dalam menggali konsep restorative justice di Indonesia.
Permasalahan
Bagaimana posisi korban kejahatan dalam penyelesaian konflik hukum pidana dalam hukum adat Baduy?
Pembahasan
a. Restorative Justice: Sebuah Konsep Pemulihan Bagi Korban, Pelaku Dan Masyarakat Dalam Penyelesaian Konflik Pidana
Restorative justice merupakan konsep keadilan yang sangat berbeda dengan apa yang kita kenal saat ini dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia yang bersifat retributif, restorative justice adalah sebuah pendekatan untuk membuat pemindahan dan pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan. Restorative justice dibangun atas dasar nilai-nilai tradisional komunitas yang positif dan sanksi-sanksi yang dilaksanakan menghargai hak- asasi manusia. Prinsip-prinsip restorative justice adalah, membuat pelaku bertanggung jawab untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan karena kejahatannya, memberikan kesempatan pada pelaku untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya sebaik dia mengatasi rasa bersalahnya dengan cara yang konstruktif, melibatkan korban, orang tua, keluarga, sekolah atau teman bermainnya, membuat forum kerjasama, juga dalam masalah yang berhubungan dengan kejahatan untuk mengatasinya.
Charles K.B. Barton membagi restorative justice ke dalam restorative justice meeting dan restorative justice conference. A restorative justice meeting is a face-to-face encounter between the principal stakeholders. A restorative justice conference, for example, brings together the victim, the offender, and their respective communities of support (family member, friends, coleagues, neighbours, teachers, coach, etc) to discuss the wrongful, or offending behaviour in question. The focus is to address the causes and consequences and to find a satisfactory resolution to the incident in question through consensus decision making.
Tujuan utama dari restorative justice itu sendiri adalah pencapaian keadilan yang seadil-adilnya terutama bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya, dan tidak sekedar mengedepankan penghukuman.
Keadilan restoratif mengedepankan konsep dialog, mediasi dan rekonsiliasi dalam penanganan suatu tindak pidana; suatu metode yang tidak dikenal dalam konsep pemidanaan yang bekerja dalam sistem peradilan pidana selama ini. Konsep mediasi yang lazim dikenal dalam tatanan hukum perdata, sangatlah berbeda dengan konsep yang dikenal dalam hukum pidana.
Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif pada dasarnya terfokus upaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan pelaku melalui upaya perbaikan. Termasuk dalam upaya ini adalah perbaikan hubungan antara pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut. Stakeholder utama disini adalah pelaku (yang menyebabkan terjadinya tindak pidana), korban (sebagai pihak yang dirugikan) dan masyarakat dimana peristiwa tersebut terjadi.
Permasalahan utama adalah saat mendudukkan korban sebagai pihak yang aktif dalam menemukan akhir dari suatu peradilan pidana. Oleh karenanya, syarat utama suatu penyelesaian perkara pidana yang menggunakan pendekatan restorative justice adalah keterlibatan korban.
Konsep keadilan XE “keadilan” restoratif yang didasarkan pada tujuan hukum XE “hukum” sebagai upaya menyelesaikan konflik dan mendamaikan antara pelaku dan korban XE “korban” kejahatan XE “korban kejahatan” . Pidana penjara bukanlah satu-satunya pidana XE “pidana” yang dapat diberikan pada pelaku, melainkan pemulihan kerugian, penderitaan yang dialami korban lah yang utama. Kewajiban merestorasi kejahatan XE “kejahatan” dalam bentuk restitusi XE “restitusi” dan kompensasi serta rekonsiliasi dan penyatuan sosial merupakan bentuk pidana dalam konsep keadilan restoratif XE “keadilan restoratif” .
Memulihkan harmoni/keseimbangan secara an sich saja tidak cukup, oleh karena itu “memulihkan keseimbangan” hanya dapat diterima sebagai gagasan mewujudkan keadilan jika “keseimbangan” secara moral antara pelaku dan korban yang ada sebelumnya adalah keseimbangan yang pantas.
Restorative justice adalah alternative atau cara lain peradilan criminal dengan mengedepankan integrasi pelaku di satu sisi dan korban/masyarakat di lain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat.
Dengan demikian, dalam restorative justice, penyelesaian konflik tidak saja menggunakan aparat negara tetapi juga melibatkan korban sebagai pihak yang juga memiliki peran dalam mengambil sebuah tindakan atas permasalahan hukum pidana yang dihadapi. Korban dan pelaku serta aparat penegak hukum duduk bersama untuk menyelesaikan konflik dan menentukan keadilan yang dirasa dapat memberikan pemulihan bagi korban dan tentu saja penghukuman bagi pelaku.
b. Posisi Korban Kejahatan dalam Penyelesaian Konflik Pidana Adat Baduy
Perbincangan mengenai hukum adat dan hukum pemerintahan di Indonesia sebenarnya memiliki sejarah yang panjang dan tidak cukup sekedar dimulai dari jatuhnya rezim Orde Baru. Sejak masa penjajahan Belanda, adat menjadi bagian dari kepentingan politik pemerintahan. Hal yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan Sukarno setelah Indonesia merdeka, zaman Orde Baru di bawah rezim Suharto sampai zaman reformasi sekarang ini. Meskipun hubungan antara hukum adat dan pemerintahan yang terbangun pada setiap pemerintahan berbeda-beda, namun secara umum setiap rezim menggunakan adat sebagai bagian dari kesuksesan pemerintahannya.
Hukum adat merupakan kristalisasi kesadaran kolektif bangsa yang tidak lahir dari teori-teori maupun perdebatan-perdebatan dalam gedung dewan. Kekuatan berlaku hukum adat tidak berasal dari mekanisme legal formal, melainkan tumbuh dan berkembang melalui afirmasi masyarakat di tempatnya berada. Perilaku masyarakat baik secara sadar maupun tidak sadar menciptakan norma-norma sosial sebagai peredam konflik. Gangguan terhadap keseimbangan dalam kelompok masyarakat harus dipulihkan sedemikian rupa ke keadaan semula. Melalui keseimbangan itu tercipta tatanan masyarakat yang harmonis, tentram dan aman sebagaimana yang diharapkan oleh manusia.
Istilah peradilan adat sering dipersepsikan pada suatu peradilan yang diselenggarakan di tingkat desa. Peradilan adat tersebut bertujuan menyelesaikan sengketa-sengketa menurut adat istiadat dan kebiasaan di lingkungan masyarakat itu sendiri. Atau boleh jadi yang terbayang pada hukum-hukum adat. Untuk sampai pada pengertian peradilan adat tersebut terlebih dahulu melihat tentang hukum adat. Saat ini hukum adat (adatrecht) di Indonesia telah menjadi sebuah objek studi para ahli dan telah dipraktekkan sejak zaman kekuasaan Belanda dan Jepang di Indonesia.
Keberadaan peradilan adat tidak bisa dilepaskan keberadaannya dari hukum adat. Hukum adat adalah suatu jenis hukum yang dikenal di Indonesia, sebagai sebuah hukum yang hidup di dalam dinamika kehidupan masyarakat dan biasanya tidak tertulis.
Peradilan Adat ditujukan untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan hubungan kekeluargaan yang muara akhirnya berupa perdamaian dan keseimbangan. Perdamaian selalu diupayakan melalui forum musyawarah pada setiap tingkatan peradilan adat.
Pada dasarnya menyelesaikan perkara perselisihan secara damai sudah merupakan budaya hukum (adat) bangsa Indonesia yang tradisionil. Demikian juga, penyelesaian sengketa sebagai pengatur dan penyelenggara kehidupan dalam komunitas serta hubungan dengan pencipta, alam sekitar dan makhluk lain, termasuk manusia di luar masyarakat adat setempat.
Demikian juga keadilan restoratif sebetulnya sudah ada dalam hukum Indonesia. Jauh sebelum hukum positif yang sekarang ada. Yaitu dalam hukum adat. Keberadaan peradilan adat tidak bisa dilepaskan keberadaannya dari hukum adat. Hukum adat adalah suatu jenis hukum yang dikenal di Indonesia, sebagai sebuah hukum yang hidup di dalam dinamika kehidupan masyarakat dan biasanya tidak tertulis.
Pada sisi lain, keberadaan peradilan adat justru diperlukan oleh sistem kekuasaan kehakiman dalam rangka membantu mengatasi problema kelebihan beban (over loaded) yang dihadapi pengadilan resmi (negara). Banyak sengketa perdata dan perkara pidana ringan, pidana anak (kasus sandal jepit) atau delik aduan akan lebih efektif dan efisien diselesaikan oleh peradilan informal (peradilan adat) yang diharapkan dapat memberikan restorative justice. Secara umum prinsip-prinsip keadilan restoratif adalah membuat pelanggar bertanggungjawab memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya. Memberikan kesempatan kepada pelanggar membuktikan kapasitas dan kualitasnya di samping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif.
Penyelesaian sengketa oleh peradilan adat dengan berbasis kearifan lokal didasarkan pada musyawarah lebih menjanjikan untuk mendapatkan restorative justice. Sebagaimana dalam restorative justice mensyaratkan adanya suatu kondisi tertentu yang menempatkan keadilan restorative justice sebagai nilai dasar yang dipakai dalam merespon suatu perkara pidana. Dalam hal ini disyaratkan adanya keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam masyarakat.
Hukum Adat Baduy merupakan salah satu hukum adat yang masih dianut dan berlaku di Indonesia. Terkait dengan penyelesaian konflik pidana, hukum pidana adat Baduy memiliki proses penegakan hukum tersendiri. Proses kekeluargaan selalu dikedepankan dan menjadi yang utama. Tahap awal selalu diusahakan diselesaikan di pihak keluarga. Jika dalam tahap keluarga tidak dapat selesai maka Jaro Tangtu dengan tokoh adat lainnya melakukan penyelidikan ke lapangan, kalau ringan cukup diselesaikan oleh Jaro Tangtu, namun jika tidak selesai, maka diserahkan pada sistem peradilan adat Baduy.
Penyelesaian konflik pidana dalam hukum adat Baduy, menempatkan korban kejahatan sebagai pihak yang memiliki kesempatan untuk menyampaikan segala penderitaannya di hadapan pelaku dan ketua adat. Dalam kesempatan itu pula diupayakan permohonan maaf pelaku terhadap korban dikabulkan. Jika korban memaafkan dan pelaku dimungkinkan memberikan sejumlah kerugian maka proses penyelesaian konflik akan terus berlanjut ke tahap berikutnya. Tetapi jika korban belum memaafkan, maka ketua adat memberikan waktu kepada korban untuk merenung dengan diberikan nasihat-nasihat agar korban mau memaafkan pelaku.Setelah korban mau memaafkan pelaku, maka proses selanjutnya adalah ritual adat pelaku terhadap alam Baduy yang dipandu oleh ketua Adat dan para Jaro.
Ada dua tahap permohonan maaf pelaku dalam penyelesaian konflik pidana adat di Baduy. Pertama, ketika korban memaafkan pelaku atas semua kejahatan yang dilakukan. Kedua, ketika pelaku melakukan ritual sanksi sebagai permohonan maaf terhadap alam Baduy agar pelaku disucikan dari segala dosa alam dapat menerima kembali pelaku. Proses inilah yang disebut dengan silih hampura.
Konsep silih hampura dalam masyarakat adat Baduy ini yang kemudian penulis sebut sebagai restorative justice versi Indonesia. Dalam konsep silih hampura terdapat kemiripan cara kerja sebagaimana yang dilakukan dalam restorative justice. Antara lain partisipasi sukarela dari para pihak yang menjadi sokoguru dari prinsip restorative justice juga menjadi titik awal dari proses silih hampura dalam masyarakat adat Baduy. Dalam melakukan proses silih hampura diperlukan kerelaan dari korban untuk memaafkan perbuatan pelaku. Tahapan ini merupakan tahapan awal yang paling penting. Jika pun korban belum memaafkan maka semua ritual adat belum dapat dilakukan.
Dalam masyarakat adat Baduy, peran Jaro menjadi penting sebagai pihak yang menyelesaikan konflik. Keluarga korban dan keluarga pelaku dipertemukan dalam sebuah ruang musyawarah, untuk mengambil tindakan atau pun sikap apa yang akan diberikan kepada pelaku. Korban diberikan kesempatan pertama untuk mengeluarkan pendapat dan keinginannya. Pelaku diberikan kesempatan untuk mengutarakan pendapat dan sikap yang akan dia ambil. Jika pada tahap ini tidak tercapai kesepakatan maka jaro atau pun kepala adat memberikan nasihat kepada korban agar dapat memaafkan perbuatan pelaku.
Setelah korban mau menerima dan memaafkan pelaku, maka bagi korban ini sudah selesai. Dalam tahap ini korban telah memaafkan pelaku, pelaku telah meminta maaf, dan mungkin saja disertai dengan tindakan lain. Seperti pembayaran sejumlah uang sebagai ganti rugi sebagai bentuk pemulihan ke keadaan semula.
Konsep ganti rugi dalam hukum pidana adat Baduy melekat pada setiap tindak pidana yang pada hakikatnya menimbulkan korban. Ganti rugi (kepada pihak korban) dalam hukum pidana adat Baduy menjadi semacam pidana pokok yang wajib dipenuhi oleh pihak pelaku sehingga silih hampura dapat tercapai. Hal ini dikecualikan jika korban melepaskan haknya dalam mendapatkan ganti rugi karena tercapainya silih hampura tanpa permintaan ganti rugi ataupun menolak menerima ganti rugi.
Bagi pelaku, setelah proses silih hampura berlangsung, maka hukuman tetap diberikan sebagai ritual untuk mensucikan dosa-dosa yang telah diperbuat. Proses ini disebut dengan ngabokoran. Sebuah proses ritual adat yang dilakukan oleh pelaku dengan menyertakan sesajen dan ritual ritul lain yang dilakukan dengan petunjuk ketua adat. Setelah itu pelaku didangkakan (semacam diasingkan) selama kurang lebih 40 hari.
Proses ngabokoran dan proses didangkakan merupakan sebuah proses penghukuman dalam hukum pidana adat Baduy. Hal itu sebagaimana proses penghukuman dalam keadilan restoratif, karena sejatinya keadilan restoratif tidak menghilangkan hukuman melainkan ingin memulihkan penderitan korban.
Dalam konsep silih hampura, tujuan utamanya adalah memulihkan ke keadaan semula, seperti sebelum terjadinya kejahatan. Kedamaian merupakan tujuan utama tanpa meninggalkan dendam. Konsep keseimbangan lahir dan batin masih melekat kuat dalam masyarakat adat. Hal itu dapat dilihat dari adanya konsep maaf yang dianut terdiri dari dua fase. Pertama, permaafan lahir, fase pada saat dimaafkan oleh korban. Kedua, permaafan batin, fase pada saat melakukan ritual ngabokoran sebagai penghapus dosa-dosa baik terhadap sang pencipta maupun alam ciptaannya.
Melihat proses silih hampura dalam masyarakat adat Baduy, dapat dikatakan bahwa korban dalam masyarakat adat Baduy, merupakan pihak pertama yang menentukan jalannya penyelesaian konflik. Korban diberikan kesempatan pertama untuk mengeluarkan pendapat, keinginan dan mungkin unek-unek terhadap pelaku dengan disaksikan kepala adat dan para jaro. Jika korban menerima permohonan maaf dari pelaku maka proses silih hampura akan dapat diteruskan ke tahapan selanjutnya. Korban diberikan keleluasaan untuk menerima permohonan maaf pelaku dengan pembayaran sejumlah kerugian ataupun tidak. Jika korban belum memaafkan pelaku, maka belum dapat lanjut ke tahapan selanjutnya. Jika korban sudah memaafkan, maka pelaku dapat melakukan ritual adat sesuai petunjuk ketua adat. Artinya, betapa kedudukan korban menjadi penting dalam masyarakat adat tatkala kepentingannya dilanggar oleh orang lain.
Terkait dengan beberapa konsep dasar dari restorative justice, hal itu terdapat pula dalam konsep silih hampura masyarakat adat Baduy. Seperti keterlibatan para pihak (korban, pelaku, masyarakat), adanya stakeholder sebagai mediator (dalam hukum adat direpresentasikan oleh kepala adat) dan pemulihan ganti rugi oleh pelaku terhadap korban. Terutama juga terkait dengan permaafan antara pelaku dan korban.
Oleh karenanya konsep dasar silih hampura dapat dikatakan sejalan dengan konsep restorative justice, dan dapat saja dikatakan bahwa Indonesia sudah memiliki konsep tersebut sejak lama. Mengingat suku Baduy telah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan konsep silih hampura tersebut sudah sangat lama dianut dan berlaku sampai saat ini.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Posisi korban kejahatan dalam penyelesaian konflik pidana adat Baduy menduduki tempat yang penting dan utama. Korban memegang peranan kunci dalam memulai proses penyelesaian konflik. Jika korban belum memaafkan pelaku, maka penyelesaian konflik belum dapat diteruskan. Pemaafan dari korban menjadi point penting untuk memulai semua ritual penyelesaian konflik secara adat. Dalam hukum pidana adat Baduy, korban mendapat perhatian atas kerugian yang diderita dan diberikan kesempatan untuk menyampaikan keadilan yang diinginkan termasuk untuk mendapatkan ganti rugi atas perbuatan pelaku.
Keterlibatan korban, pelaku dan masyarakat yang berkepentingan merupakan proses awal dalam melakukan musyawarah ketika penyelesaian konflik dimulai. Bertemunya korban dan pelaku dengan disaksikan oleh kepala adat, kemudian didengar pendapat dan keinginan masing-masing yang akhirnya akan dicari solusi terbaik untuk keadilan merupakan kekhasan dari silih hampura. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep silih hampura dalam hukum Pidana Adat Baduy merupakan konsep restorative justice versi Indonesia.
Saran
Penyelesaian konflik pidana dalam hukum adat Baduy telah berlangsung sejak lama dan sampai saat ini masih dianggap mampu memberikan keadilan bagi korban kejahatan dan juga bagi pihak pelaku serta masyarakat Baduy. Oleh karena itu, konsep silih hampura dalam hukum adat Baduy dapat dijadikan salah satu konsep yang memberikan posisi terhadap korban dalam pembaharuan sistem peradilan pidana Indonesia.
Respond For " POSISI KORBAN KEJAHATAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK PIDANA HUKUM ADAT BADUY "